Orang Miskin Dilarang Sekolah



SEKOLAH HANYA UNTUK YANG KAYA

Menarik mendengar cerita Maria, ibu beranak tiga korban banjir di Jakarta beberapa waktu lalu. Dengan nada sedih, Ia bercerita tentang peristiwa yang dialaminya - dimana pasca banjir, ia kehilangan segala hartanya sehingga anaknya yang kala itu duduk di kelas V dan dua adiknya masing-masing duduk di kelas IV dan kelas II di salah satu sekolah swasta harus putus sekolah. “Jangankan saya beli susu agar anak saya tidak kekurangan gizi dan otak mereka cerdas, mengisi perut dengan makanan seadanya saja sangat sulit saya lakukan lantaran harga makanan (beras) saat ini terlalu mahal,” begitu komentarnya kepada penulis beberapa waktu lalu.



Cuplikan percakapan ibu Maria dengan penulis di atas menarik dan signifikan untuk disimak. Sebab, ternyata menjadi negeri yang kaya akan sumber daya alam, luas, berpenduduk besar, dan memiliki beragam budaya tampaknya tidak selalu menjamin terciptanya kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Dan itulah Indonesia - yang hingga kini masih terseok-seok dalam beragam persoalan sosial ekonomi dan politik seperti kemiskinan, busung lapar, gizi buruk, pengangguran, pendidikan terbelakang, perpolitikan bangsa yang amburadul, bencana alam yang terus menerus, wabah penyakit, dan sebagainya.
Masalah kemiskinan dan pendidikan memang bukan hanya persoalan yang dimiliki bangsa Indonesia semata. Ia adalah masalah dunia. Karena itu pada September 2000, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebanyak 189 negara anggota PBB, termasuk Indonesia, sepakat mengadopsi Deklarasi Milenium yang kemudian dijabarkan dalam kerangka praktis tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs). MDGs menempatkan pembangunan manusia sebagai fokus, memiliki tujuan dan indikator kemajuan terukur dengan tenggat waktu 2015. Hingga kini, tersisa waktu kurang dari 5 tahun bagi Indonesia untuk menyelesaikan pekerjaan rumah dalam mengupayakan pencapaian 8 (delapan) tujuan Pembangunan Millenium (Millennium Development Goals/MDGs) - terkait pengurangan kemiskinan, pencapaian pendidikan dasar, perbaikan kesehatan ibu dan anak, kesetaraan gender, pengurangan prevalensi penyakit menular, pelestarian lingkungan hidup, dan kerjasama global.

Kemiskinan Meningkat
Akibat krisis keuangan global, kenaikan harga pangan, telah menjadikan belanja pangan sebagai pengeluaran rumah tangga terbesar di kelompok masyarakat menengah bawah dan miskin. Perubahan iklim yang ekstrem pun telah meningkatkan curah hujan tinggi dan berdampak pada kegagalan pertanian dan kerusakan asset masyarakat khususnya petani. Kondisi tersebut juga memperpanjang waktu nelayan yang tidak bisa melaut serta mengganggu kesehatan masyarakat.
Dalam studi yang dilakukan Bappenas, untuk pencapaian MDGs dalam tiga bidang utama (pendidikan, kesehatan dan air minum/sanitasi dasar) dibutuhkan dana sebesar Rp 1.274.754,3 miliar untuk 4 tahun ke depan (2011-2015). Beberapa tujuan dan target lainnya, terutama terkait lingkungan hidup, sulit untuk dihitung kebutuhan pendanaan karena tiadanya ketersediaan data yang akurat dan lengkap.
Selain dana, tantangan lain demi keberhasilan MDGs di Indonesia tergantung pada tata pemerintahan yang baik, kemitraan yang produktif pada semua tingkat masyarakat dan penerapan pendekatan yang komprehensif untuk mencapai pertumbuhan yang pro-masyarakat miskin, meningkatkan pelayanan publik, memperbaiki koordinasi antar pemangku kepentingan, memperluas kemitraan, meningkatkan alokasi sumber daya, pendekatan desentralisasi untuk mengurangi disparitas, memberdayakan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia, serta upaya serius dalam pemberantasan korupsi.
Sejak awal periode 1990-an, disparitas pendapatan, baik antar-daerah maupun antar-kelompok dalam masyarakat di Indonesia telah menjadi topik yang hangat. Sejak itu, daerah-daerah yang jauh tertinggal mulai menunjukkan ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat, sehingga menuntut transfer pendapatan yang lebih besar dan kewenangan yang lebih luas untuk melakukan rencana pengembangan daerah. Sejak tahun 1970-an hingga pertengahan periode 2000-an, propinsi-propinsi di Indonesia mengalami perbedaan dalam pertumbuhan ekonomi. Beberapa propinsi yang nyaris selalu berada di propinsi terkaya di Indonesia adalah Kalimantan Timur, Riau, dan Jakarta. Sementara itu NTT dan NTB selalu menjadi propinsi yang paling miskin. Hal yang sama juga berlaku terkait disparitas penghasilan. Meskipun Indonesia telah masuk dalam kategori middle income country, namun jumlah orang miskin secara nominal masih sebesar 14.15 persen atau sekitar 34 juta penduduk (Bapenas 2011).

Angka Pekerja Anak Bertambah

Tantangan lain dari pencapaian MDGs 2015 di Indonesia adalah realitas kemiskinan dan angka pekerja anak di bawah umur pada berbagai sektor yang makin mencemaskan. Harus dipahami bahwa memahami kondisi kemiskinan di Indonesia tak sesederhana seperti menyanyikan lagu kanak-kanak yang biasa dan lazim diajar secara salah oleh para guru kepada semua siswa di sekolah; ”Di Sini Senang, Di Sana Senang, Di Mana-Mana Hatiku Senang.” Nyatanya, yang senang itu hanya segelintir orang yaitu mereka yang bergelimang harta. Mengutip Revrisond Baswir (2008), di negara ini, hanya ada 14 ribu orang yang memiliki deposito di sejumlah bank yang nilainya minimal Rp 5 miliar. Dan mereka itu yang menguasai mayoritas pangsa pasar deposito di seluruh bank di Indonesia. Dengan demikian, reformasi sampai sejauh ini tidak mengubah peta ekonomi Indonesia, dimana konglomerat lama tetap jadi pemenang. Ya, di tengah sakitnya derita rakyat akibat kenaikan harga barang yang mendahului kenaikan harga BBM, masih ada orang Indonesia, pengusaha kaya, yang mampu mengundang pemusik dunia ke rumahnya, dan mendengarkan lantunan musik, sambil menikmati hidangan lezat dan nikmat. Dominasi kelas konglomerat lama diprediksi bakal lestari dalam beberapa tahun mendatang. Menurut Revrison, ada 23 anak-cucu konglomerat lama yang bakal mengendalikan bisnis dan ekonomi Indonesia. Mereka mewarisi imperium keturunan dan bakal menguasai peta uang di Indonesia.
Persoalan kemiskinan sebetulnya bukan persoalan angka atau data semata, melainkan menyangkut persoalan fakta. Selain fakta kemiskinan yang terurai di awal tulisan ini, fakta tragis lainnya ditunjukan lewat Laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada tuhun 2008 yang sungguh mencengangkan. Ada sekitar 166 juta anak di seluruh dunia kini telah menjadi pekerja (buruh), bahkan tak kurang dari 74,4 juta di antaranya sudah terlibat dalam bentuk-bentuk pekerjaan berbahaya seperti prostitusi dan peredaran narkoba. Peta persoalan yang sama di Indonesia menunjukkan bahwa pada tahun 2004 diperkirakan 1,4 juta anak berusia 10-14 tahun menjadi pekerja anak.Sebagian besar dari mereka tidak mendapat peluang untuk bersekolah, sehingga masa depan bagi mereka pun kian suram. Padahal “Anak, - yakni mereka yang berusia di bawah 15 tahun, pada prinsipnya tidak boleh bekerja layaknya orang dewas. Namun kenyataannya kondisi ekonomi keluarga yang buruk membuat anak terpaksa ikut mencari penghasilan untuk keluarga, dan tak jarang sektor pekerjaan mereka tergolong sangat berbahaya.
Mengacu kepada Konvensi No.182 ILO tentang Pelarangan dan Penghapusan Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak, Pemerintah Indonesia memetakan empat bentuk pekerjaan terburuk yang dilakukan oleh buruh anak. Empat kategori terburuk itu adalah pekerja rumah tangga (PRT), perdagangan anak untuk eksploitasi seks komersial, pekerjaan di sektor pertanian/perkebunan, dan anak jalanan yang beresiko diperdagangkan dan terlibat dalam peredaran narkoba.
Sektor PRT, akibat putus sekolah ada 700.000 anak di bawah usia 18 tahun telah bekerja sebagai PRT, dengan lebih dari 90 persen di antaranya adalah anak perempuan. Anak perempuan yang datang dari daerah pedesaan, umumnya memasuki dunia kerja sebagai PRT saat usia mereka baru 12-15 tahun. Yang lazim menimpa PRT anak adalah bekerja 14-18 jam sehari, tujuh hari dalam sepekan, tanpa istirahat atau libur. Para majikan juga di banyak kasus menahan gaji mereka sebelum pulang kampung agar tetap bekerja.Tak jarang kasus kekerasan dan penganiayaan pun dialami PRT anak, karena mereka diisolasi dari dunia luar.
Sektor prostitusi pun tak kalah menyesakkan hati. Kajian ILO di tahun 2003 menunjukkan bahwa sekitar 21.552 anak bekerja sebagai pelacur di Pulau Jawa. Data mengenai prostitusi anak dan orang dewasa dari Departemen Sosial memperlihatkan peningkatan 34 persen dalam kurun waktu 10 tahun, dari 65.059 di tahun 1994 menjadi 87.536 di tahun 2004 di seluruh Indonesia. Di tahun 2001, Kementerian Pemberdayaan Perempuan memperkirakan bahwa 20-30 persen dari jumlah mereka yang ada di dunia prostitusi masih berusia di bawah 18 tahun.Wilayah-wilayah asal para pelacur anak ini biasanya dari desa-desa, dan minim fasilitas pendidikan yang kemudian menyebabkan tingkat pendidikan mereka sangat terbatas.
Di sektor pertanian dan perkebunan peta buram masih marak, karena diperkirakan sekitar 1,5 juta anak usia 10-17 tahun bekerja di sektor pertanian dan perkebunan.Tiga provinsi dengan angka pekerja anak di sektor pertanian dan perkebunan terbesar adalah Sumatera Utara (155.196 anak), Jawa Tengah (204.406), dan Jawa Timur (224.075). Pekerjaan di sektor ini sangat berbahaya mengingat potensi pajanan pestisida, temperatur ekstrim, dan debu organik yang membahayakan kesehatan. Sebuah studi di Jawa Timur baru-baru ini mendapati bahwa 85 persen pekerja anak sektor pertanian dan perkebunan telah lulus Sekolah Dasar, namun hanya 13 persen yang melanjutkan pendidikan ke SMP.
Sektor ke-4 yang dicemaskan adalah masalah anak jalanan yang sangat rentan perdagangan manusia dan peredaran narkoba. Departemen Sosial pada tahun 2005 memperkirakan 46.800 anak Indonesia telah menjadi anak jalanan di 21 provinsi. Bahaya yang dihadapi oleh anak jalanan sungguh serius, mulai dari tindak kekerasan, eksploitasi oleh preman, polusi, kecelakaan lalu lintas, perdagangan anak, dan perdagangan obat terlarang. Riset ILO tahun 2004 menunjukkan 133 dari 255 anak jalanan adalah pemakai obat-obatan, penghirup lem, dan peminum alkohol.

Kembali ke UUD 1945

Membedah persoalan kemiskinan seperti yang diuraikan di atas terjawab pada Undang-undang Dasar 1945. Disana diamanatkan untuk melaksanakan pembangunan dengan tujuan meningkatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tujuan ini telah dengan tegas dicantumkan di dalam Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasal dalam UUD 1945 baik yang asli maupun hasil amandemennya. Pasal 23 ayat 1, misalnya, dengan jelas ditegaskan bahwa APBN harus digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Masih banyak pasal dalam konstitusi yang mengatur dengan jelas hak rakyat dan tugas negara untuk menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat; tentang pengelolaan ekonomi dan sumber daya alam sebesar-besar demi kemakmuran rakyat; amanah bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara; hak rakyat atas pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan lain-lain.
Dengan kata lain, konstitusi telah mengatur apa yang menjadi hak rakyat dari berbagai penerimaan negara yang dikelola negara dan dengan tegas menentukan kewajiban-kewajiban negara dalam pemenuhan hak-hak rakyat dari pengelolaan APBN. Semestinya semakin besar volume anggaran pemerintah semakin besar pula kapasitas pemerintah untuk melaksanakan amanah konstitusi untuk membawa rakyat lebih sejahtera, namun yang terjadi tidak demikian. Sebagai ilustrasi, APBN meningkat pesat dari Rp 380 triliun (2004) menjadi sekitar Rp 980 triliun (2008), dan sekitar 1.230 triliun (2011). Namun, hasil pembangunan yang diperoleh selama periode tersebut tidak sebanding. Untuk pengentasan kemiskinan, misalnya, meskipun anggaran kemiskinan meningkat tajam dari Rp 18 triliun (2004) menjadi sekitar Rp 70 triliun (2008), akan tetapi jumlah orang miskin tidak berkurang secara signifikan, masih sekitar 35% pada tahun 2011 (Bapenas, 2011). Kondisi kemiskinan yang kian meningkat itulah yang membuat rakyat miskin terus menangis dan berlari menjauhkan diri dari bangku sekolah, hingga bangku sekolah seolah hanya ditakdirkan hanya untuk mereka yang berekonomi kaya semata.

0 Response to "Orang Miskin Dilarang Sekolah"

Post a Comment

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme