Orang Miskin Dilarang Sekolah



SEKOLAH HANYA UNTUK YANG KAYA

Menarik mendengar cerita Maria, ibu beranak tiga korban banjir di Jakarta beberapa waktu lalu. Dengan nada sedih, Ia bercerita tentang peristiwa yang dialaminya - dimana pasca banjir, ia kehilangan segala hartanya sehingga anaknya yang kala itu duduk di kelas V dan dua adiknya masing-masing duduk di kelas IV dan kelas II di salah satu sekolah swasta harus putus sekolah. “Jangankan saya beli susu agar anak saya tidak kekurangan gizi dan otak mereka cerdas, mengisi perut dengan makanan seadanya saja sangat sulit saya lakukan lantaran harga makanan (beras) saat ini terlalu mahal,” begitu komentarnya kepada penulis beberapa waktu lalu.



Cuplikan percakapan ibu Maria dengan penulis di atas menarik dan signifikan untuk disimak. Sebab, ternyata menjadi negeri yang kaya akan sumber daya alam, luas, berpenduduk besar, dan memiliki beragam budaya tampaknya tidak selalu menjamin terciptanya kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Dan itulah Indonesia - yang hingga kini masih terseok-seok dalam beragam persoalan sosial ekonomi dan politik seperti kemiskinan, busung lapar, gizi buruk, pengangguran, pendidikan terbelakang, perpolitikan bangsa yang amburadul, bencana alam yang terus menerus, wabah penyakit, dan sebagainya.
Masalah kemiskinan dan pendidikan memang bukan hanya persoalan yang dimiliki bangsa Indonesia semata. Ia adalah masalah dunia. Karena itu pada September 2000, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebanyak 189 negara anggota PBB, termasuk Indonesia, sepakat mengadopsi Deklarasi Milenium yang kemudian dijabarkan dalam kerangka praktis tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs). MDGs menempatkan pembangunan manusia sebagai fokus, memiliki tujuan dan indikator kemajuan terukur dengan tenggat waktu 2015. Hingga kini, tersisa waktu kurang dari 5 tahun bagi Indonesia untuk menyelesaikan pekerjaan rumah dalam mengupayakan pencapaian 8 (delapan) tujuan Pembangunan Millenium (Millennium Development Goals/MDGs) - terkait pengurangan kemiskinan, pencapaian pendidikan dasar, perbaikan kesehatan ibu dan anak, kesetaraan gender, pengurangan prevalensi penyakit menular, pelestarian lingkungan hidup, dan kerjasama global.

Kemiskinan Meningkat
Akibat krisis keuangan global, kenaikan harga pangan, telah menjadikan belanja pangan sebagai pengeluaran rumah tangga terbesar di kelompok masyarakat menengah bawah dan miskin. Perubahan iklim yang ekstrem pun telah meningkatkan curah hujan tinggi dan berdampak pada kegagalan pertanian dan kerusakan asset masyarakat khususnya petani. Kondisi tersebut juga memperpanjang waktu nelayan yang tidak bisa melaut serta mengganggu kesehatan masyarakat.
Dalam studi yang dilakukan Bappenas, untuk pencapaian MDGs dalam tiga bidang utama (pendidikan, kesehatan dan air minum/sanitasi dasar) dibutuhkan dana sebesar Rp 1.274.754,3 miliar untuk 4 tahun ke depan (2011-2015). Beberapa tujuan dan target lainnya, terutama terkait lingkungan hidup, sulit untuk dihitung kebutuhan pendanaan karena tiadanya ketersediaan data yang akurat dan lengkap.
Selain dana, tantangan lain demi keberhasilan MDGs di Indonesia tergantung pada tata pemerintahan yang baik, kemitraan yang produktif pada semua tingkat masyarakat dan penerapan pendekatan yang komprehensif untuk mencapai pertumbuhan yang pro-masyarakat miskin, meningkatkan pelayanan publik, memperbaiki koordinasi antar pemangku kepentingan, memperluas kemitraan, meningkatkan alokasi sumber daya, pendekatan desentralisasi untuk mengurangi disparitas, memberdayakan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia, serta upaya serius dalam pemberantasan korupsi.
Sejak awal periode 1990-an, disparitas pendapatan, baik antar-daerah maupun antar-kelompok dalam masyarakat di Indonesia telah menjadi topik yang hangat. Sejak itu, daerah-daerah yang jauh tertinggal mulai menunjukkan ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat, sehingga menuntut transfer pendapatan yang lebih besar dan kewenangan yang lebih luas untuk melakukan rencana pengembangan daerah. Sejak tahun 1970-an hingga pertengahan periode 2000-an, propinsi-propinsi di Indonesia mengalami perbedaan dalam pertumbuhan ekonomi. Beberapa propinsi yang nyaris selalu berada di propinsi terkaya di Indonesia adalah Kalimantan Timur, Riau, dan Jakarta. Sementara itu NTT dan NTB selalu menjadi propinsi yang paling miskin. Hal yang sama juga berlaku terkait disparitas penghasilan. Meskipun Indonesia telah masuk dalam kategori middle income country, namun jumlah orang miskin secara nominal masih sebesar 14.15 persen atau sekitar 34 juta penduduk (Bapenas 2011).

Angka Pekerja Anak Bertambah

Tantangan lain dari pencapaian MDGs 2015 di Indonesia adalah realitas kemiskinan dan angka pekerja anak di bawah umur pada berbagai sektor yang makin mencemaskan. Harus dipahami bahwa memahami kondisi kemiskinan di Indonesia tak sesederhana seperti menyanyikan lagu kanak-kanak yang biasa dan lazim diajar secara salah oleh para guru kepada semua siswa di sekolah; ”Di Sini Senang, Di Sana Senang, Di Mana-Mana Hatiku Senang.” Nyatanya, yang senang itu hanya segelintir orang yaitu mereka yang bergelimang harta. Mengutip Revrisond Baswir (2008), di negara ini, hanya ada 14 ribu orang yang memiliki deposito di sejumlah bank yang nilainya minimal Rp 5 miliar. Dan mereka itu yang menguasai mayoritas pangsa pasar deposito di seluruh bank di Indonesia. Dengan demikian, reformasi sampai sejauh ini tidak mengubah peta ekonomi Indonesia, dimana konglomerat lama tetap jadi pemenang. Ya, di tengah sakitnya derita rakyat akibat kenaikan harga barang yang mendahului kenaikan harga BBM, masih ada orang Indonesia, pengusaha kaya, yang mampu mengundang pemusik dunia ke rumahnya, dan mendengarkan lantunan musik, sambil menikmati hidangan lezat dan nikmat. Dominasi kelas konglomerat lama diprediksi bakal lestari dalam beberapa tahun mendatang. Menurut Revrison, ada 23 anak-cucu konglomerat lama yang bakal mengendalikan bisnis dan ekonomi Indonesia. Mereka mewarisi imperium keturunan dan bakal menguasai peta uang di Indonesia.
Persoalan kemiskinan sebetulnya bukan persoalan angka atau data semata, melainkan menyangkut persoalan fakta. Selain fakta kemiskinan yang terurai di awal tulisan ini, fakta tragis lainnya ditunjukan lewat Laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada tuhun 2008 yang sungguh mencengangkan. Ada sekitar 166 juta anak di seluruh dunia kini telah menjadi pekerja (buruh), bahkan tak kurang dari 74,4 juta di antaranya sudah terlibat dalam bentuk-bentuk pekerjaan berbahaya seperti prostitusi dan peredaran narkoba. Peta persoalan yang sama di Indonesia menunjukkan bahwa pada tahun 2004 diperkirakan 1,4 juta anak berusia 10-14 tahun menjadi pekerja anak.Sebagian besar dari mereka tidak mendapat peluang untuk bersekolah, sehingga masa depan bagi mereka pun kian suram. Padahal “Anak, - yakni mereka yang berusia di bawah 15 tahun, pada prinsipnya tidak boleh bekerja layaknya orang dewas. Namun kenyataannya kondisi ekonomi keluarga yang buruk membuat anak terpaksa ikut mencari penghasilan untuk keluarga, dan tak jarang sektor pekerjaan mereka tergolong sangat berbahaya.
Mengacu kepada Konvensi No.182 ILO tentang Pelarangan dan Penghapusan Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak, Pemerintah Indonesia memetakan empat bentuk pekerjaan terburuk yang dilakukan oleh buruh anak. Empat kategori terburuk itu adalah pekerja rumah tangga (PRT), perdagangan anak untuk eksploitasi seks komersial, pekerjaan di sektor pertanian/perkebunan, dan anak jalanan yang beresiko diperdagangkan dan terlibat dalam peredaran narkoba.
Sektor PRT, akibat putus sekolah ada 700.000 anak di bawah usia 18 tahun telah bekerja sebagai PRT, dengan lebih dari 90 persen di antaranya adalah anak perempuan. Anak perempuan yang datang dari daerah pedesaan, umumnya memasuki dunia kerja sebagai PRT saat usia mereka baru 12-15 tahun. Yang lazim menimpa PRT anak adalah bekerja 14-18 jam sehari, tujuh hari dalam sepekan, tanpa istirahat atau libur. Para majikan juga di banyak kasus menahan gaji mereka sebelum pulang kampung agar tetap bekerja.Tak jarang kasus kekerasan dan penganiayaan pun dialami PRT anak, karena mereka diisolasi dari dunia luar.
Sektor prostitusi pun tak kalah menyesakkan hati. Kajian ILO di tahun 2003 menunjukkan bahwa sekitar 21.552 anak bekerja sebagai pelacur di Pulau Jawa. Data mengenai prostitusi anak dan orang dewasa dari Departemen Sosial memperlihatkan peningkatan 34 persen dalam kurun waktu 10 tahun, dari 65.059 di tahun 1994 menjadi 87.536 di tahun 2004 di seluruh Indonesia. Di tahun 2001, Kementerian Pemberdayaan Perempuan memperkirakan bahwa 20-30 persen dari jumlah mereka yang ada di dunia prostitusi masih berusia di bawah 18 tahun.Wilayah-wilayah asal para pelacur anak ini biasanya dari desa-desa, dan minim fasilitas pendidikan yang kemudian menyebabkan tingkat pendidikan mereka sangat terbatas.
Di sektor pertanian dan perkebunan peta buram masih marak, karena diperkirakan sekitar 1,5 juta anak usia 10-17 tahun bekerja di sektor pertanian dan perkebunan.Tiga provinsi dengan angka pekerja anak di sektor pertanian dan perkebunan terbesar adalah Sumatera Utara (155.196 anak), Jawa Tengah (204.406), dan Jawa Timur (224.075). Pekerjaan di sektor ini sangat berbahaya mengingat potensi pajanan pestisida, temperatur ekstrim, dan debu organik yang membahayakan kesehatan. Sebuah studi di Jawa Timur baru-baru ini mendapati bahwa 85 persen pekerja anak sektor pertanian dan perkebunan telah lulus Sekolah Dasar, namun hanya 13 persen yang melanjutkan pendidikan ke SMP.
Sektor ke-4 yang dicemaskan adalah masalah anak jalanan yang sangat rentan perdagangan manusia dan peredaran narkoba. Departemen Sosial pada tahun 2005 memperkirakan 46.800 anak Indonesia telah menjadi anak jalanan di 21 provinsi. Bahaya yang dihadapi oleh anak jalanan sungguh serius, mulai dari tindak kekerasan, eksploitasi oleh preman, polusi, kecelakaan lalu lintas, perdagangan anak, dan perdagangan obat terlarang. Riset ILO tahun 2004 menunjukkan 133 dari 255 anak jalanan adalah pemakai obat-obatan, penghirup lem, dan peminum alkohol.

Kembali ke UUD 1945

Membedah persoalan kemiskinan seperti yang diuraikan di atas terjawab pada Undang-undang Dasar 1945. Disana diamanatkan untuk melaksanakan pembangunan dengan tujuan meningkatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tujuan ini telah dengan tegas dicantumkan di dalam Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasal dalam UUD 1945 baik yang asli maupun hasil amandemennya. Pasal 23 ayat 1, misalnya, dengan jelas ditegaskan bahwa APBN harus digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Masih banyak pasal dalam konstitusi yang mengatur dengan jelas hak rakyat dan tugas negara untuk menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat; tentang pengelolaan ekonomi dan sumber daya alam sebesar-besar demi kemakmuran rakyat; amanah bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara; hak rakyat atas pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan lain-lain.
Dengan kata lain, konstitusi telah mengatur apa yang menjadi hak rakyat dari berbagai penerimaan negara yang dikelola negara dan dengan tegas menentukan kewajiban-kewajiban negara dalam pemenuhan hak-hak rakyat dari pengelolaan APBN. Semestinya semakin besar volume anggaran pemerintah semakin besar pula kapasitas pemerintah untuk melaksanakan amanah konstitusi untuk membawa rakyat lebih sejahtera, namun yang terjadi tidak demikian. Sebagai ilustrasi, APBN meningkat pesat dari Rp 380 triliun (2004) menjadi sekitar Rp 980 triliun (2008), dan sekitar 1.230 triliun (2011). Namun, hasil pembangunan yang diperoleh selama periode tersebut tidak sebanding. Untuk pengentasan kemiskinan, misalnya, meskipun anggaran kemiskinan meningkat tajam dari Rp 18 triliun (2004) menjadi sekitar Rp 70 triliun (2008), akan tetapi jumlah orang miskin tidak berkurang secara signifikan, masih sekitar 35% pada tahun 2011 (Bapenas, 2011). Kondisi kemiskinan yang kian meningkat itulah yang membuat rakyat miskin terus menangis dan berlari menjauhkan diri dari bangku sekolah, hingga bangku sekolah seolah hanya ditakdirkan hanya untuk mereka yang berekonomi kaya semata.
Readmore »»

Orang Miskin Dilarang Sakit




Dua hari Achmad (68) tergeletak di lorong rumah sakit. Hari ketiga, setelah keluarganya menemui seorang perawat senior yang masih punya hubungan kerabat dengan mereka, ia akhirnya bisa mendapat tempat di salah satu bangsal rumah sakit. Akan tetapi, baru beberapa hari dirawat, penderita gangguan serius pada organ hatinya itu ”dipaksa” pulang.



Sudah sembuhkah Achmad? ”Jauh panggang dari api. Tetapi, tidak ada yang bisa kami lakukan agar tetap bertahan. Sebagai pasien yang berobat gratis, kami tentu tak bisa ngotot sebab menurut mereka tempat perawatan akan digunakan orang lain,” kata Umar, kerabat pasien, yang mengaku hanya bisa pasrah terkait kepulangan saudara sepupunya tersebut dari Rumah Sakit Muhammad Hoesin di Palembang.

Sejak Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menerapkan sistem berobat gratis, masyarakat golongan bawah di wilayah ini memang bisa mengakses layanan kesehatan di sejumlah rumah sakit tanpa harus mengeluarkan biaya perawatan medis.

Namun, membeludaknya jumlah orang sakit—di tengah berbagai keterbatasan sarana dan prasarana kesehatan, juga tenaga dokter dan paramedis—membuat pelayanan tidak optimal. Di tengah situasi semacam ini, tak jarang perlakuan kurang manusiawi dialami banyak pasien.

Apa yang terjadi pada Achmad bisa menimpa siapa pun. Jangankan pasien dari keluarga miskin yang memanfaatkan sistem layanan berobat gratis, pegawai negeri peserta asuransi kesehatan (Askes) pun kerap dipandang sebelah mata oleh pihak rumah sakit.

Bahkan, pelayanan buruk juga bisa menimpa seorang dokter peserta Askes yang sekali waktu harus dirawat di rumah sakit terkemuka di negeri ini, tempat ia dulu justru pernah bertugas (Surat Pembaca Kompas, 4 Maret 2009).

Lain lagi kisah yang menimpa sastrawan Radhar Panca Dahana. Bukan soal perlakuan petugas medis, tetapi lebih menyangkut bagaimana status pasien yang kerap menjadi semacam obyek dari apa yang ia sebut korban fait accompli. Dalam konteks ini, pasien hanya bisa pasrah karena memang tidak ada pilihan.

Satu ketika ia menjalani operasi pengangkatan tumor di pundak. Seusai operasi, ia segera ”diperbolehkan” pulang. ”Betapa pun saya minta diinapkan,” kata Radhar. Belum setengah perjalanan pulang, luka bekas operasi terbuka dan darah mengalir. Ia kembali, operasi ulang pun dilakukan. Hasilnya tak banyak menolong: luka tetap terbuka dan darah tiada henti mengalir.

Ia kemudian diinapkan dan diberi pilihan untuk operasi ketiga dengan kondisi dibius total. Menurut dokter bedah yang menanganinya, kondisi ini (dibius total) bagi orang seperti Radhar—yang memiliki penyakit akut lain, gagal ginjal—hanya punya dua opsi: hilang sadar total alias maut atau masuk ruang ICCU!

”Saya terpana. Lantaran kesalahan operasi, saya mesti berada pada sebuah dilema yang komikal: maut dan hampir maut,” tutur Radhar.

Ketika hal ini dipertanyakan, sekaligus menggugat di mana tanggung jawab para dokter yang membuat situasi hidup dan mati sang pasien dipertaruhkan, ”Mereka tak bisa menjawab. Yang ada hanya pernyataan pendek: ’Semua terserah kepada keputusan Bapak’. Saya terdiam dan mereka pergi.” Bahwa akhirnya ia selamat dari situasi ”komikal” tersebut, Radhar percaya hal itu bisa terjadi hanya berkat tangan Tuhan yang ikut bermain.

Dalam situasi dan kasus yang berbeda, kisah Prita Mulyasari dan Juliana—yang akhirnya bersengketa dengan pihak rumah sakit pascalayanan kesehatan yang mereka terima—adalah sisi lain bagaimana potret hubungan pasien dan rumah sakit sebagai penyedia jasa layanan kesehatan. Sudah sejak lama dirasakan adanya ketimpangan hubungan antara pasien dan penyedia jasa layanan kesehatan.

Pasien selalu diposisikan sebagai orang yang paling membutuhkan, sementara rumah sakit cenderung tampil bagai dewa yang akan menentukan nasib sang pasien. Bahkan, di tengah ketidakpahaman pasien tentang sakit dan penyakitnya, tak jarang hak-hak mereka dikebiri oleh pihak rumah sakit.

Liberalisasi dunia kesehatan

Ada apa dengan sistem pelayanan kesehatan di negeri ini? Mengapa citra rumah sakit yang dulu kental akan fungsi sosialnya kini redup, berganti wajah dan tampilan barunya yang lebih berorientasi untuk kepentingan bisnis?

Bukan saja kini bermunculan rumah sakit swasta (beberapa di antaranya memasang label ”internasional”) dengan target-target pendapatan lewat jasa layanan kesehatan dan tingkat hunian kamar seperti layaknya dunia perhotelan, rumah sakit pemerintah (pusat) pun mulai ikut-ikutan.

Lebih ironis lagi, banyak pemerintah daerah—baik provinsi maupun kabupaten/kota—yang mulai mengalokasikan dana untuk membangun rumah sakit yang berorientasi keuntungan.

Kesenjangan pengetahuan medis tentang masalah kesehatan dan penanganannya memang menjadi salah satu faktor lemahnya posisi pasien (baca: konsumen) berhadapan dengan pengelola jasa layanan kesehatan.

Namun, banyak kalangan percaya bahwa akar dari semua itu berawal dari sistem layanan kesehatan di negeri ini yang sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar. Akibatnya, aroma komersial terasa kental pada hampir setiap tindakan terhadap pasien, sementara fungsi sosial layanan kesehatan tertinggal jauh di belakang.

”Cuma dari luar, rumah sakit kelihatannya kini makin komersial dan meninggalkan fungsi-fungsi sosial. Sebetulnya fungsi sosial tetap jalan. Gawat darurat kan selalu dilayani,” kata dr Adib Abdullah Yahya, Ketua Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia.

Menurut Adib, aroma komersial itu dirasakan pihak luar lantaran rumah sakit harus menghidupi dirinya sendiri. Rumah sakit, kan, harus hidup sehingga menerapkan tarif-tarif sesuai dengan biaya per unit.

Sebaliknya, dokter Kartono Mohamad—pakar kesehatan yang juga mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia—melihat pelayanan kesehatan di Indonesia memang cenderung liberal. Semua diserahkan kepada pasar. Malah tiap langkah layanan dikenai tarif tanpa ada aturan yang jelas. Pemodal yang membuka jasa layanan kesehatan kini cenderung hanya berorientasi mencari keuntungan.

Bahkan, kata Kartono, untuk mengangkat jahitan seusai operasi pun dikenai tarif terpisah dari operasi itu sendiri. Demikian pula kontrol atas keadaan seusai tindakan sepertinya dianggap bukan merupakan bagian dari tanggung jawab pascatindakan, tetapi sebagai langkah baru yang dikenai tarif tersendiri.

Bukan hanya pengenaan tarif terpisah yang dipersoalkan. Besaran tarif juga tidak jelas karena ditentukan sendiri oleh pengelola jasa layanan kesehatan.

Seharusnya, kata Kartono, model layanan kesehatan yang berasaskan fee for service semacam ini—di mana tiap langkah layanan dikenai tarif tersendiri—diubah menjadi sistem asuransi dengan segera memberlakukan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional yang sudah lima tahun ”ditidurkan”.

Dalam perspektif pasar, segala sesuatu memang diukur dari seberapa besar kapitalisasi bergulir. Kenyataan ini, meski kerap disanggah oleh pemerintah, yang secara umum berlaku dalam sistem pelayanan kesehatan di negeri ini. Dalam bahasa Radhar, esensi pelayanan termanipulasi oleh fasilitas dan harga, sementara diskriminasi terhadap pasien justru kian ditegakkan.

Lebih celaka lagi, tentu saja bagi pasien, tidak ada lembaga pengawas yang mengoreksi kalau ada kesalahan dalam pelayanan. Belum ada perundang-undangan yang khusus mengatur soal layanan kesehatan di rumah sakit, termasuk di dalamnya terkait kontrol dan prosedur pelayanan terhadap pasien. Pemerintah yang seharusnya bertindak sebagai regulator dan wasit malah ikut bermain.

Membaca berbagai kasus yang muncul ke permukaan, Hasbullah Thabrany—ahli kesehatan masyarakat dari Universitas Indonesia—mengingatkan pemerintah agar segera menyadari bahwa ada kegagalan pasar dalam pelayanan kesehatan. Penerapan mekanisme pasar dalam pelayanan rumah sakit dan pelayanan kesehatan, tambahnya, tidak akan dan tidak pernah menguntungkan konsumen.

Peringatan serupa juga disampaikan sejumlah ahli kesehatan yang tergabung dalam Forum Peduli Kesehatan Rakyat. ”Seluruh literatur telah membuktikan kegagalan mekanisme pasar dalam pelayanan kesehatan. Fakta di dunia, semakin banyak dokter dan rumah sakit, harga pelayanan semakin mahal. Bahkan, rumah sakit publik milik pemerintah ikut bersaing dalam (sistem) mekanisme pasar,” demikian antara lain bunyi seruan Forum Peduli Kesehatan Rakyat untuk menggugah kepedulian para calon presiden dan calon wakil presiden yang masih memarjinalkan isu kesehatan dalam kampanye- kampanye mereka.

Pertanyaannya, di tengah kuatnya isu liberalisasi di hampir semua sektor kehidupan berbangsa seperti sekarang, masihkah ada yang peduli? Masih adakah peluang UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang antara lain berisikan jaminan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat—tanpa memandang kaya-miskin—benar-benar dilaksanakan?

Kita hanya bisa menunggu. Ataukah pemerintahan ini tega membiarkan aspek pelayanan kesehatan sebagai ladang bisnis yang kian meruyak, sementara lebih dari dua pertiga rakyat yang menggunakan jasa pelayanan kesehatan menjadi dan atau bertambah miskin serta menderita karena tidak mampu lagi ”membeli” produk layanan kesehatan yang dibutuhkan? Kita hanya bisa menunggu!
Readmore »»

Kisah 2 Tukang Sol




Mang Udin, begitulah dia dipanggil, seorang penjual jasa perbaikan sepatu yang sering disebut tukang sol. Pagi buta sudah melangkahkan kakinya meninggalkan anak dan istrinya yang berharap, nanti sore hari mang Udin membawa uang untuk membeli nasi dan sedikit lauk pauk. Mang Udin terus menyusuri jalan sambil berteriak menawarkan jasanya. Sampai tengah hari, baru satu orang yang menggunakan jasanya. Itu pun hanya perbaikan kecil.



Perut mulai keroncongan. Hanya air teh bekal dari rumah yang mengganjal perutnya. Mau beli makan, uangnya tidak cukup. Hanya berharap dapat order besar sehingga bisa membawa uang ke rumah. Perutnya sendiri tidak dia hiraukan.



Di tengah keputusasaan, dia berjumpa dengan seorang tukan sol lainnya. Wajahnya cukup berseri. “Pasti, si Abang ini sudah dapat uang banyak nich.” pikir mang Udin. Mereka berpapasan dan saling menyapa. Akhirnya berhenti untuk bercakap-cakap.



“Bagaimana dengan hasil hari ini bang? Sepertinya laris nich?” kata mang Udin memulai percakapan.



“Alhamdulillah. Ada beberapa orang memperbaiki sepatu.” kata tukang sol yang kemudian diketahui namanya Bang Soleh.



“Saya baru satu bang, itu pun cuma benerin jahitan.” kata mang Udin memelas.



“Alhamdulillah, itu harus disyukuri.”



“Mau disyukuri gimana, nggak cukup buat beli beras juga.” kata mang Udin sedikit kesal.



“Justru dengan bersyukur, nikmat kita akan ditambah.” kata bang Soleh sambil tetap tersenyum.



“Emang begitu bang?” tanya mang Udin, yang sebenarnya dia sudah tahu harus banyak bersyukur.



“Insya Allah. Mari kita ke Masjid dulu, sebentar lagi adzan dzuhur.” kata bang Soleh sambil mengangkat pikulannya.



Mang udin sedikit kikuk, karena dia tidak pernah “mampir” ke tempat shalat.



“Ayolah, kita mohon kepada Allah supaya kita diberi rezeki yang barakah.”



Akhirnya, mang Udin mengikuti bang Soleh menuju sebuah masjid terdekat. Bang Soleh begitu hapal tata letak masjid, sepertinya sering ke masjid tersebut.



Setelah shalat, bang Soleh mengajak mang Udin ke warung nasi untuk makan siang. Tentu saja mang Udin bingung, sebab dia tidak punya uang. Bang Soleh mengerti,



“Ayolah, kita makan dulu. Saya yang traktir.”



Akhirnya mang Udin ikut makan di warung Tegal terdekat. Setelah makan, mang Udin berkata,



“Saya tidak enak nich. Nanti uang untuk dapur abang berkurang dipakai traktir saya.”



“Tenang saja, Allah akan menggantinya. Bahkan lebih besar dan barakah.” kata bang Soleh tetap tersenyum.



“Abang yakin?”



“Insya Allah.” jawab bang soleh meyakinkan.



“Kalau begitu, saya mau shalat lagi, bersyukur, dan mau memberi kepada orang lain.” kata mang Udin penuh harap.



“Insya Allah. Allah akan menolong kita.” Kata bang Soleh sambil bersalaman dan mengucapkan salam untuk berpisah.



Keesokan harinya, mereka bertemu di tempat yang sama. Bang Soleh mendahului menyapa.



“Apa kabar mang Udin?”



“Alhamdulillah, baik. Oh ya, saya sudah mengikuti saran Abang, tapi mengapa koq penghasilan saya malah turun? Hari ini, satu pun pekerjaan belum saya dapat.” kata mang Udin setengah menyalahkan.



Bang Soleh hanya tersenyum. Kemudian berkata,



“Masih ada hal yang perlu mang Udin lakukan untuk mendapat rezeki barakah.”



“Oh ya, apa itu?” tanya mang Udin penasaran.



“Tawakal, ikhlas, dan sabar.” kata bang Soleh sambil kemudian mengajak ke Masjid dan mentraktir makan siang lagi.



Keesokan harinya, mereka bertemu lagi, tetapi di tempat yang berbeda. Mang Udin yang berhari-hari ini sepi order berkata setengah menyalahkan lagi,



“Wah, saya makin parah. Kemarin nggak dapat order, sekarang juga belum. Apa saran abang tidak cocok untuk saya?”



“Bukan tidak, cocok. Mungkin keyakinan mang Udin belum kuat atas pertolongan Allah. Coba renungkan, sejauh mana mang Udin yakin bahwa Allah akan menolong kita?” jelas bang Soleh sambil tetap tersenyum.



Mang Udin cukup tersentak mendengar penjelasan tersebut. Dia mengakui bahwa hatinya sedikit ragu. Dia “hanya” coba-coba menjalankan apa yang dikatakan oleh bang Soleh.



“Bagaimana supaya yakin bang?” kata mang Udin sedikit pelan hampir terdengar.



Rupanya, bang Soleh sudah menebak, kemana arah pembicaraan.



“Saya mau bertanya, apakah kita janjian untuk bertemu hari ini, disini?” tanya bang Soleh.



“Tidak.”



“Tapi kenyataanya kita bertemu, bahkan 3 hari berturut. Mang Udin dapat rezeki bisa makan bersama saya. Jika bukan Allah yang mengatur, siapa lagi?” lanjut bang Soleh. Mang Udin terlihat berpikir dalam. Bang Soleh melanjutkan, “Mungkin, sudah banyak petunjuk dari Allah, hanya saja kita jarang atau kurang memperhatikan petunjuk tersebut. Kita tidak menyangka Allah akan menolong kita, karena kita sebenarnya tidak berharap. Kita tidak berharap, karena kita tidak yakin.”



Mang Udin manggut-manggut. Sepertinya mulai paham. Kemudian mulai tersenyum.



“OK dech, saya paham. Selama ini saya akui saya memang ragu. Sekarang saya yakin. Allah sebenarnya sudah membimbing saya, saya sendiri yang tidak melihat dan tidak mensyukurinya. Terima kasih abang.” kata mang Udin, matanya terlihat berkaca-kaca.



“Berterima kasihlah kepada Allah. Sebentar lagi dzuhur, kita ke Masjid yuk. Kita mohon ampun dan bersyukur kepada Allah.”



Mereka pun mengangkat pikulan dan mulai berjalan menuju masjid terdekat sambil diiringi rasa optimist bahwa hidup akan lebih baik.



Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:

“Rasulullah saw. bersabda: Allah Taala berfirman: Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku dan Aku selalu bersamanya ketika dia mengingat-Ku. Apabila dia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku pun akan mengingatnya dalam diri-Ku. Apabila dia mengingat-Ku dalam suatu jamaah manusia, maka Aku pun akan mengingatnya dalam suatu kumpulan makhluk yang lebih baik dari mereka. Apabila dia mendekati-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta. Apabila dia mendekati-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya sedepa. Dan apabila dia datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari.”
Readmore »»

Sakit dalam Pandangan Seorang Mukmin



Beberapa saat yang lalu, saya menyaksikan rekaman (video) ceramah Syaikh Wajdi Ghunaim yang berjudul ‘Risalah ilal Maridh (Pesan untuk Orang yang Sakit)’. Masyaallah, setelah menyaksikan video tersebut, saya betul-betul menemukan makna dan hakikat sakit. Jazakumullah ya Syaikhana atas mutiara-mutiara hikmahnya.



Video rekaman itu terdiri dari tiga bagian, terdapat di YouTube. Pada video bagian yang pertama, Syaikh Wajdi Ghunaim mengingatkan bahwa bagi setiap mukmin, sakit itu adalah ujian (imtihan, ibtila’). Berbeda dengan orang kafir, dimana sakit adalah adzab (intiqam) baginya. Beliau juga mengingatkan kita dengan firman Allah: “Apakah Aku akan membiarkan kalian berkata ‘Kami beriman’ sementara kami tidak menguji kalian, sehingga Aku tahu siapa orang-orang yang bersabar.” Lalu beliau menyampaikan sabda Rasulullah saw bahwanya semakin tinggi keimanan seseorang, maka semakin berat pula ujian yang akan ditimpakan kepadanya. ‘Sesungguhnya manusia yang paling berat ujiannya adalah para nabi dan rasul, diikuti dengan orang-orang yang dibawah mereka, dan demikian seterusnya.’ Dan jika Allah mencintai seorang hamba-Nya, maka Allah pasti akan mengujinya. Sudah barang tentu, ditimpa sakit adalah salah satu bentuk ujian dari Allah Ta’ala.

Pada video bagian yang kedua, Syaikh Wajdi Ghunaim mengingatkan kita semua hakikat lain dari sakit bagi seorang mukmin. Beliau mengingatkan bahwa bagi setiap mukmin, sakit – seberapapun ringannya sakit itu, meski misalnya hanya sakit karena tersandung batu – merupakan kaffarah (penghapus dosa). Tidaklah seorang mukmin mengalami sakit, kecuali pasti dihapuskan dari dirinya kesalahan dan dosanya. Karena itulah, Rasulullah saw biasa mengatakan kepada orang yang sakit: “Laa ba’sa thahuur insyaallah (Tidak apa-apa, insyallah engkau disucikan oleh Allah). Beliau juga mengingatkan bahwa jika Allah mencintai dan menyayangi seorang hamba, maka Dia akan menyegerakan ‘siksa’ untuknya di dunia, sehingga hamba tersebut akan menghadap Allah dalam keadaan suci bersih. Sebaliknya, jika Allah membenci seorang manusia, maka Allah akan menangguhkan semua ‘siksa-Nya’ untuk kelak ditimpakan secara sempurna di akhirat. Inilah antara lain yang telah lakukan kepada Fir’aun.

Disamping itu, Allah Ta’ala juga menjanjikan pahala yang besar kepada orang-orang yang sabar ketika ditimpa atau diuji dengan sakit. Syaikh Wajdi Ghunaim menukil sebuah kisah di zaman Nabi saw. Ketika itu ada seorang wanita yang diuji oleh Allah dengan suatu jenis penyakit. Karena merasa tidak tahan dengan sakitnya maka wanita itupun datang kepada Nabi saw dan berkata, “Wahai Rasulullah, doakanlah agar Allah menyembuhkan penyakitku.” Nabi saw pun bersabda kepada wanita itu, “Bersabarlah (dengan sakitmu itu) maka untukmu Surga, atau aku akan mendoakanmu sehingga Allah memberikan kesembuhan kepadamu.” Masyaallah, itulah sakit yang menjanjikan keutamaan yang sedemikian besar: Surga Allah Ta’ala.

Ya, apapun yang Allah timpakan kepada hamba-Nya selalu merupakan yang terbaik dalam pandangan Allah – meski seringkali dianggap buruk dalam pandangan manusia. Syaikh Wajdi Ghunaim mengutip sebuah ayat dalam QS Ali ‘Imran: “Katakanlah: ‘Ya Allah, Pemilik Segala Kekuasaan. Engkau berikan kekuasaan kepada siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki. DITANGAN-MU SEGALA KEBAIKAN.” Ayat ini menegaskan bahwa hal-hal yang sering dianggap baik seperti diberikannya kekuasaan dan kemuliaan mapun hal-hal yang dianggap buruk seperti dicabutnya kekuasaan dan dihinakannya seseorang, semuanya dalam pandangan Allah adalah KEBAIKAN. Termasuk sakit. Meski dalam pandangan manusia itu seringkali dianggap buruk, namun dalam pandangan Allah adalah kebaikan. Dan jika itu menimpa seorang mukmin, maka itu adalah yang terbaik.

Pada video bagian yang ketiga (terakhir), Syaikh Wajdi Ghunaim mengatakan bahwa kita juga dianjurkan untuk berobat. Tetapi ingat, berobat ini hanyalah sebab (sarana) agar Allah memberikan kesembuhan. Jangan pula pernah lupa untuk berobat dengan cara membaca ayat-ayat dan doa-doa yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw, yang biasa disebut sebagai ruqyah.

Adapun setelah kita berusaha berobat, pasrahkan hasilnya kepada Allah Ta’ala. Setelah kita berobat, sembuh tidaknya kita bukanlah urusan kita. Itu adalah sepenuhnya urusan Allah Ta’ala. Hanya Dia sajalah yang tahu mana yang terbaik untuk hambanya.

Terakhir, Syaikh Wajdi Ghunaim mengingatkan agar selama sakit, hendaknya kita banyak melakukan sholat, membaca Al-Qur’an, dan berdzikir.

Subhanallah, sakit ternyata penuh dengan keutamaan yang tak terkira nilainya. Sekali lagi, jazakumullah ya Syaikhana atas mutiara-mutiara hikmahnya. Jazakumullah kulla khair.
Readmore »»

Orang Miskin Dilarang Pintar




OPINI: UJIAN NASIONAL DAN KELULUSAN SISWA?

Menceramati dan memperhatikan Pendidikan di Indonesia, timbulnya suatu permasalahan yang menjadi permasalahan nasional, terutama menyangkut standar kelulusan siswa baik yang masuk SMP, SMA maupun Perguruan Tinggi dan lain-lain, kelulusan Siswa tidak ditentukan oleh guru yang memantau dan mendidik serta membimbing dan membina anak didik selama 3 tahun dalam proses belajar dan mengajar, tetapi cukup ditentukan oleh Standar Ujian Nasional yang lebih dikenal dengan UN
dengan 3 materi pelajaran, sesuatu hal yang tidak logis, untuk menilai seseorang mampu dan tidak mampu hanya dari satu aspek, sedangkan intelektual yang bermoral merupakan proses yang diamati dan dinilai oleh orang yang membimbing, orang yang membina di sini peran guru dikebirikan.



Sesuai UU No.20 Tahun 2003, tentang sistem Pendidikan Nasional Bab XVI pasal 57 ayat (2) evaluasi dilakukan kepada peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan informal untuk semua jenjang, satuan dan jenis pendidikan, sedangkan pasal 58 ayat (1) evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh Pendidik untuk memantau proses kemampuan dah perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan dan pasal 1 ayat (17) standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistim pendidikan di seluruh wilayah NKRI.
Di sinilah permasalahan Pendidikan di Indonesia, yang memunculkan beberapa pertanyaan terhadap kelulusan siswa antara lain (1) Kelulusan hanya ditentukan oleh 3 materi Ujian Nasional, sedangkan, materi lain dan keaktifan serta intelektual lainnya tidak dinilai, akan memunculkan materi lain dianggap tidak perlu, sedangkan materi lain tersebut merupakan faktor penting dalam menumbuh kembangkan intelektualitas yang bermoral dalam mencapai tujuan pendidikan nasioanal sebagai mana amanat pembukaan UUD 1945; (2) sesuai pasal 57 ayat 1 dan pasal 1 ayat (17) sudahkah dilakukan pemantuan terhadap kelayakan proses pendidikan untuk mengacu standar Nasional pendidikan, hasil akhir bermuara kepada peserta didik terutama menyangkut sandar kebutuhan minimal secara komprehensif dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal lembaga pendidikan tersebut antara 1. Sarana dan parasana Pendidikan, 2. Pendidik, 3. Penerimaan arus informasi dan buku 4. lingkungan pendidikan, 5.Peran serata masyarakat 6. dll.
Sesuai pasal 58 ayat (1) UU No.20 Tahun 2003 yang mengavaluasi dan memantau proses intelektual anak didik adalah pendidik, jelas kontribusi dan peran guru dalam penentuan kelulusan anak didik sangat penting dan besar, karena sang pahlawan tanpa tanda jasa yang melihat, mendidik, membina mental dan intelektual anak didik selama berada di lembaga pendidikan terkesan di kebirikan. Pasal 35 ayat (1) dalam penjelasan ?kompetensi kelulusan adalah merupakan kualifikasi kemampauan kelulusan yang mencakup sikap, pengetahuan dan ketrampilan?, di sini jelas bahwa kelulusan tidak bisa ditentukan oleh 3 materi ujian nasional, karena sikap, kemampuan dan ketrampilan yang hanya diketahui oleh Pendidik/guru tidak dinilai oleh Ujian Nasional, kembali lagi peran pendidik dikebirikan. Pasal 37 materi wajib yang harus diakomodir dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah memuat Pendidikan Agama, PKN, Bahasa, Matematika, IPA, IPS, Seni dan Budaya Penjas, Ketarmpilan dan jasa, muatan local, kata ? wajib? merupakan suatu bentuk yang wajib diajarkan kepada anak didik, konsekwenasinya materi tersebut menjadi indicator sebuah kelulusan anak didik, kenyataan hanya 3 materi yang menjadi indikator kelulusan nasional.
Bahwa kondisi bangunan sekolah dan pendidikan nasional di Indonesia belum bisa distandarisasikan, karena bangunan yang sudah tidak layak, kinerja guru perlu ditingkatkan, konsekwensi motivasi guru sebagai pendidik perlu ditingkatkan, baik gaji/tunjangan, pendidikan, sarana dll, geografis dan budaya, arus informasi dll.
Sehingga standarisasi harusnya melalui perlakuan dan penilaian yang sama dalam semua aspek, kenyataan aspek-aspek belum standar, sehingga standar nasional belum bisa dilaksanakan, namun pihak Diknas melalui proses harus melengkapi semua persyaratan yang diamanatkan oleh UU, baik sarana maupun prasarana serta ketentuan operasional serta proses sosialisasi. Kenyataan dan fakta tersebut, bahwa Ujian Nasional bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2003, yang membawa dampak pada pembodohan bangsa, dan bertentangan dengan amanat pembukaan UUD 1945.
Berdasarkan UUNo.14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen yang menyatakan bahwa salah satu hak guru dan dosen memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukkan kelulusan, jelas dalam UU ini, yang memberikan penilaian objectif terhadap kelulusan anak didik adalah guru. sedangkan UN peran-peran guru tidak ada, ini menyatakan bahwa UN bertentangan dengan UU No. 14 tahun 2005, di mana Pemerintah dalam hal ini Kementerian DIKNAS penginterpensi lembaga pendidikan atau mengambil hak pedagogis sang pahlawan tanpa tanda jasa. Profesi guru, dalam penyelengaraan UN tidak dihargai sebagai suatu tugas mulia untuk mencerdaskan bangsa.
Kalau kita lihat fakta yang faktual, justru kota-kota dengan standar minimal telah terpenuhi baik sarana dan prasarana, pendidik, arus informasi yang banyak menderita akibat ujian nasional, pertanyaan Sadarkah Bapak Menteri Pendidikan nasional dan jajarannya, dengan kondisi ini? Dampak lain, siswa yang berasal dari ekonomi kurang mampu dan lulus dengan standar nasional, namun belum bisa melanjutkan ke pendidikan lebih tinggi, karena NEM yang belum memenuhi standar penerimaan di Sekolah yang lebih tinggi, tidak bisa melanjutkan, tetapi siswa yang berasal dari ekonomi mampu bisa melanjutkan ke sekolah lain terutama swasta dengan biaya tinggi, di samping itu, bagaimana dengan siswa yang belum bisa ditampung pada seleksi PSB dan SPMB tahun 2006/2007, sekolah swasta dengan biaya tinggi, tentunya menjadi permasalahan, bukan karena tidak mampu secara akademis, tetapi sistim yang dibuat membuat mereka tidak mampu, bahkan banyak siswa yang telah dinyatakan lulus jalur PMDK, dan beasiswa ke Luar Negeri tetapi tidak lulus UN, kenyataan ini indikasi memperkuat ?bahwa orang miskin dilarang pintar?.
Readmore »»

Kisah Tukang Cukur




Seorang konsumen datang ke tempat tukang cukur untuk memotong rambut dan merapikan brewoknya. Si tukang cukur mulai memotong rambut konsumennya dan mulailah terlibat pembicaraan yang mulai menghangat. Mereka membicarakan banyak hal dan berbagai variasi topik pembicaraan, dan sesaat topik pembicaraan beralih tentang Tuhan. Si tukang cukur bilang, “Saya tidak percaya Tuhan itu ada”.




“Kenapa kamu berkata begitu?” timpal si konsumen. Sahut si tukang cukur, “Begini, coba Anda perhatikan di depan sana, di jalanan…. untuk menyadari bahwa Tuhan itu tidak ada. Lalu katakan kepadaku, jika Tuhan itu ada, adakah orang yang sakit? Adakah anak yang terlantar?” Lanjutnya, “Jika Tuhan ada, tidak akan ada sakit ataupun kesusahan. Saya tidak dapat membayangkan Tuhan katanya Yang Maha Penyayang akan membiarkan ini semua terjadi.”



Si konsumen diam untuk berpikir sejenak, tapi tidak merespon karena dia tidak ingin memulai adu pendapat. Si tukang cukur menyelesaikan pekerjaannya dan si konsumen pergi meninggalkan tempat si tukang cukur.



Beberapa saat setelah si konsumen meninggalkan ruangan itu, ia melihat ada orang di jalan dengan rambut yang panjang, berombak kasar “mlungker-mlungker” (istilah Jawa-nya), kotor dan brewok yang tidak dicukur. Orang itu terlihat kotor dan tidak terawat.



Lalu si konsumen balik ke tempat tukang cukur dan berkata, “Kamu tahu, sebenarnya yang tidak ada di dunia ini adalah TUKANG CUKUR.”



Si tukang cukur tidak terima,” Kamu kok bisa bilang begitu? Saya ada di sini dan saya tukang cukur. Dan barusan saya mencukurmu!”



“Tidak!” elak si konsumen. “Tukang cukur itu tidak ada, sebab jika ada, tidak akan ada orang dengan rambut panjang yang kotor dan brewokan seperti orang yang di luar sana,” si konsumen menambahkan.



“Ah tidak, tapi tukang cukur tetap ada!” sanggah si tukang cukur. “Apa yang kamu lihat itu adalah salah mereka sendiri, kenapa mereka tidak datang ke saya,” jawab si tukang cukur membela diri.



“Cocok!” kata si konsumen menyetujui. “Itulah point utama-nya! Sama dengan Tuhan, TUHAN ITU JUGA ADA! Tapi apa yang terjadi? Orang-orang TIDAK MAU DATANG kepada-NYA, dan TIDAK MAU MENCARI-NYA. Oleh karena itu banyak yang sakit dan tertimpa kesusahan di dunia ini.”



Si tukang cukur pun akhirnya dengan malu-malu manggut-manggut menyetujui argumen ini dan bersyukur kepada Allah atas kejadian ini, sehingga dapat menemukan Nikmat Rezeki yang Terindah dan Terbesar.



Cerita di atas bercerita tentang keimanan, keyakinan, atau tauhid,

Tapi, kadang kita kalah telak dengan Iblis. Betul sekali, kalah telak. Ah, apa iya? Iya! Iblis, jelek-jelek begitu, dia masih punya yang namanya iman.

- Iblis mengimani bahwa Tuhan itu adalah Allah. Bayangkan, sebagian manusia masih menganggap yang lain-lain sebagai Tuhan.

- Iblis mengimani bahwa Allah itu Maha Kuasa. Iblis mengimani bahwa bagi Allah tidak ada yang mustahil. Bayangkan, sebagian manusia masih menyangkal, “Ini mustahil, itu mustahil!”

- Iblis mengimani bahwa Nabi Muhammad dan Al-Quran itu memang benar. Bayangkan, sebagian manusia masih mempertanyakan. Ini terbukti ketika sebagian manusia masih mencari orang lain sebagai teladan utama dan mencari sumber lain sebagai rujukan utama.

- Iblis mengimani bahwa Hari Pembalasan itu memang ada. Bayangkan, sebagian manusia masih meragukan. Ini terbukti ketika sebagian manusia masih berani menipu, mencuri, dan menganiaya, seolah-olah tidak akan akan dibalas.

- Iblis mengimani bahwa surga dan neraka itu memang ada. Bukankah dia pernah berada di surga dan manusia belum tentu akan berada di surga? Bayangkan, sebagian manusia masih menduga-duga.



Percayalah, IMAN itu adalah 'REZEKI' yang Termahal dan Terbesar... Gimana dengan iman kita?
Readmore »»

Imam Bukhari

Imam Bukhari, bernama lengkap Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju'fi al-Bukhari. Imam Bukhari dilahirkan pada malam Jum'at tanggal 13 Syawwal 194 H/810 M di Bukhara, sebuah kota di Uzbekistan, bekas wilayah Uni Soviet.

Ayahnya bernama Ismail bin Ibrahim, salah seorang ulama hadis ternama pada masanya. Ia belajar hadis dari Hammad bin Zayd dan Imam Malik. Riwayat hidupnya ditulis Ibnu Hibban dalam kitab al-Tsiqah. Demikian juga dengan Imam Bukhari, menulis riwayat hidup ayahnya dalam kitab al- Tarikh al-Kabir. Ayahnya adalah seorang yang alim, wara’ dan taqwa. Bahkan menjelang wafat, ia sempat menjelaskan, hartanya tidak terdapat uang haram atau syubhat sedikitpun.




Sejak kecil Imam Bukhari telah mencurahkan perhatiannya mempelajari hadis dan ilmu hadis. Pada usia 10 tahun, Bukhari sudah banyak menghafal hadis. Bukhar dikenal rajin, tekun dan juga sangat cerdas. Sehingga tidak mengherankan, sebelum usia 16 tahun Bukhari berhasil menghafal dua buah kitab hadis secara utuh karya Imam Ibnu al-Mubarak dan kitab Imam Waki'.

Bukhari juga tidak hanya menghafalkan matan hadis dan kitab-kitab ulama terdahulu, namun Bukhari juga mengenal secara rinci biografi para perawi hadis, lengkap dengan data tanggal lahir, tahun wafat dan tempat lahir mereka.

Tahun 210 H, saat genap berusia 16 tahun, Bukhari bersama ibu dan saudaranya pergi ke Baitullah untuk menunaikan ibadah haji. selain untuk menunaikan ibadah haji, Bukhari juga menetap di Hijaz, Mekkah selama 6 tahun. Di kota itulah dia menempa diri untuk mereguk ilmu yang diinginkan. Kadangkala dia pergi ke Madinah. Di kedua kota suci itulah Imam Bukhari menulis sebagian karyanya dan menyusun dasar-dasar al-Jami’ al-Sahih.

Beliau menulis al-Tarikh al-Kabir di sisi makam Rasulullah saw dan sering menulis pada malam hari di bawah terang bulan. Dan menulis tiga kitab, al-Tarikh al-Sagir (yang kecil), al-Awsat (yang sedang) dan al-Kabir (yang besar). Ketiga buku itu menunjukkan kemampuannya yang luar biasa mengenai Rijal al-Hadis.

Selain singgah ke Makkah dan Madinah, Bukhari juga berkunjung ke Maru, Naisabur, Ra'y, Baghdad, Bashrah, Kufah, Mesir, Damaskus dan 'Asqalan. Dari kota dan negeri Islam ini, Bukhari tercatat pernah meriwayatkan hadis dari ulama penghafal hadis, diantaranya, Makki bin Ibrahim al-Balakhi, 'Abd bin Usman al-Marwazi, Abdullah bin Musa al-Qaisi, Abu 'Ashim al-Syaibani, Muhammad bin Abdullah al-Anshari, Muhammad bin Yusuf al-Firyabi, Abu Nu'aim al-Fadhl bin Dikkin, Ali bin al-Madini, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma'in Ismail bin Idris al-Madani, Ibnu Rahawaih dan lain-lain.

Ada hal menarik ketika di Baghdad. Bukhari pernah diuji 10 pakar ilmu hadis. Para ulama ini sengaja melakukanya untuk mengetahui kemampuan Imam Bukhari dalam ilmu hadis. Dari 10 ulama ini, setiap orang membacakan sepuluh hadis kepada Bukhari. Para penguji mengganti atau membalik isnad dan matan hadis serta menempatkannya secara acak. Satu persatu dari 10 ulama hadis ini menanyakan 10 hadis yang telah mereka persiapkan. Imam Bukhari dengan sangat tenang memaparkan, mengurutkan hadits-hadits yang diacak pada susunan yang semestinya.

Karena kemapuan dan kecerdasannya, tidak sedikit Bukhari mendapat pujian dari ulama, rekan, maupun generasi sesudahnya. Imam Abu Hatim al-Razi misalnya, berkata: “Khurasan belum pernah melahirkan seorang yang melebihi Bukhari. Di Irak pun tidak ada yang melebihi darinya." Demikina juga dengan Imam Muslim pernah mencium di antara kedua mata Imam Bukhari seraya berkata: “Guru, biarkan aku mencium kedua kakimu. Engkaulah Imam ahli hadis dan dokter penyakit hadis.”

Termasuk generasi sesudah Imam Bukhari, Ibnu Hajar al-Asqalani pernah berujar: “Seandainya pintu pujian dan sanjungan masih terbuka bagi generasi sesudahnya, niscaya kertas dan nafas akan habis. Karena ia (Imam Bukhari) bagaikan laut yang tak berpantai.”

Menurut Imam Ibnu Ishaq bin Rawahaih, salah seorang guru Bukhari mengatakan: "Seandainya Imam Bukhari hidup pada masa al-Hasan, pasti akan banyak orang yang membutuhkannya dalam ilmu hadis serta mengetahui kealiman dan kefaqihannya." Imam Abu Nu'aim dan Ahmad bin Hammad berkata: "Imam Bukhari adalah orang yang paling faqih dari umat ini."

Melihat kepakaran Imam Bukhari dari kegighannya mendalami hadits, sedertet nama besar para pakar hadits pernah ia kunjungi untuk belajar. “Aku menulis hadits dari 1.080 guru, yang semuanya adalah ahli hadis yang berpendirian bahwa iman itu adalah ucapan dan perbuatan.”

Di antara para guru itu adalah Ali bin al-Madini, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yusuf al-Firyabi, Maki bin Ibrahim al-Balkhi, Abdullah bin Usman al-Marwazi, Abdullah bin Musa al-'Abbasi, Abu 'Asim al-Syaibani, Muhammad bin Abdullah al-Anshari, Muhammad bin Yusuf al-Baykandi dan Ibnu Rahawaih. Jumlah guru yang hadisnya diriwayatkan dalam kitab sahihnya sebanyak 289 guru. Hal ini dapat kita peroleh dari jumlah guru beliau yang riwayatnya terdapat dalam Shahih Bukhari. (Muhammad Muhammad Abu Syuhbah:314-315).

Selain memiliki sekian banyak guru, Imam Bukhari juga meninggalkan sederet murid-murid yang juga pakar di bidang hadits. Diantara murid-muridnya, yang paling terkenal adalah Imam Muslim bin Hajjaj, Imam al-Tirmizi, Imam Abu Zur'ah, Imam Ibnu Khuzaimah, Imam Abu Dawud, Imam al-Nasa'I, Imam Muhammad bin Yusuf al-Firyabi, Ibrahim bin Mi’yal al-Nasafi, Hammad bin Syakir al-Nasawi dan Mansur bin Muhammad al-Bazdawi.

Di sisi lain, Imam Bukhari tidak hanya sekadar pakar dalam bidang hadis tapi juga seorang yang pakar di bidang fiqih, sejarah maupun dalam cabang ilmu keislaman lainnya. Termasuk yang jarang diungkap, Imam Bukhari termasuk pemanah ulung. Pada sebuah riwayat, Imam Bukhari sepanjang hidupnya hanya dua kali mata panahnya meleset dari sasaran.

Pakar hadits kharismatik ini wafat hari Sabtu malam 1 Syawwal 256 H pada usia 62 tahun 13 hari di Khartank, sebuah kampung yang tidak jauh dari kota Samarkand. Sebelum wafat, Imam Bukhari berpesan agar jenazahnya dikafani tiga helai kain, tanpa baju dan sorban. Jenazahnya dimakamkan setelah shalat Zuhur, bertepatan dengan perayan kemenangan kaum Muslimin di Idul Fitri saat itu.

Karya-karya Imam Bukhari
Sebagai salah seorng ulama yang produktif menulis, Imam Bukhari telah menyumbangkan sejumlah karya kepada umat Islam, diantaranya:
1)al-Tarikh al-Shagir
2)al-Tarikh al-Awsath
3)al-Dhu'afa
4)Kitab al-Kuna
5)al-Adab al-Mufrad
6)al-Jami' al-Shahih (yang kemudian dikenal dengan Shahih al-Bukhari)
7)Raf'u al-Yadain fi al-Shalat
8)Khair al-Kalam fi al-Qira'at Khalfa al-Imam
9)al-Asyribah
10)Asami al-Sahabah
11)Birr al-Walidain
12)Khalq Af'al al-'Ibad
13)al-'Ilal fi al-Hadis
14)al-Musnad al-Kabir
15)al-Wihdan
16)al-Mabsuth
17)al-Hibah
18)al-Fawaid
19)Qadhaya al-Sahabat wa al-Tabi'in
20)al-Tafsir al-Kabir (Tarikh Ibnu Katsir:juz 11:24), (Ibnu Hajar al-Asqallani:juz 2:193), (M. Abu Zahu:356).
Readmore »»

Imam Muslim

Imam Muhadits Muhsin dari Naisabur

Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Imam Muslim dilahirkan di Naisabur tahun 202 H atau 817 M. Naisabur, saat ini termasuk wilayah Rusia. Dalam sejarah Islam, Naisabur dikenal dengan sebutan Maa Wara'a an Nahr, daerah-daerah yang terletak di belakang Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah.

Naisabur pernah menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan tidak kurang 150 tahun pada masa Dinasti Samanid. Tidak hanya sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan, kota Naisabur juga dikenal saat itu sebagai salah satu kota ilmu, bermukimnya ulama besar dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah.



Kecenderungan Imam Muslim kepada ilmu hadits tergolong luar biasa. Keunggulannya dari sisi kecerdasan dan ketajaman hafalan, ia manfaatkan dengan sebaik mungkin. Di usia 10 tahun, Muslim kecil sering datang berguru pada Imam Ad Dakhili, seorang ahli hadits di kotanya. Setahun kemudian, Muslim mulai menghafal hadits dan berani mengoreksi kekeliruan gurunya ketika salah dalam periwayatan hadits.

Seperti orang yang haus, kecintaanya dengan hadits menuntun Muslim bertuangalang ke berbagai tempat dan negara. Safar ke negeri lain menjadi kegiatan rutin bagi Muslim untuk mendapatkan silsilah yang benar sebuah hadits.

Dalam berbagai sumber, Muslim tercatat pernah ke Khurasan. Di kota ini Muslim bertemu dan berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih. Di Ray ia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu 'Ansan. Pada rihlahnya ke Makkah untuk menunaikan haji 220 H, Muslim bertemu dengan Qa’nabi,- muhaddits kota ini- untuk belajar hadits padanya.

Selain itu Muslim juga menyempatkan diri ke Hijaz. di kota Hijaz ia belajar kepada Sa'id bin Mansur dan Abu Mas 'Abuzar. Di Irak Muslim belajar hadits kepada Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah. Kemudian di Mesir, Muslim berguru kepada 'Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya. Termasuk ke Syam, Muslim banyak belajar pada ulama hadits kota itu.

Tidak seperti kota-kota lainnya, bagi Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah Imam Muhaddits ini berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama ahli hadits. Terakhir Imam Muslim berkunjung pada 259 H. Saat itu, Imam Bukhari berkunjung ke Naisabur. Oleh Imam Muslim kesempatan ini digunakannya untuk berdiskusi sekaligus berguru pada Imam Bukhari.

Berkat kegigihan dan kecintaannya pada hadits, Imam Muslim tercatat sebagai orang yang dikenal telah meriwayatkan puluhan ribu hadits. Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar hadits pada Universitas Damaskus, Syria, menyebutkan, hadits yang tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan.
Bila dihitung dengan pengulangan, lanjutnya, berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sedang menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya Muslim berjumlah 4.000 hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah hadits yang ditulis dalam Shahih Muslim merupakan hasil saringan sekitar 300.000 hadits. Untuk menyelasekaikan kitab Sahihnya, Muslim membutuhkan tidak kurang dari 15 tahun.

Imam Muslim dalam menetapkan kesahihan hadits yang diriwayatkkanya selalu mengedepankan ilmu jarh dan ta'dil. Metode ini ia gunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu hadits. Selain itu, Imam Muslim juga menggunakan metode sighat at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat). Dalam kitabnya, dijumpai istilah haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarani (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan kepada kami), maupun qaalaa (ia berkata). Dengan metode ini menjadikan Imam Muslim sebagai orang kedua terbaik dalam masalah hadits dan seluk beluknya setelah Imam Bukhari.

Selain itu, Imam Muslim dikenal sebagai tokoh yang sangat ramah. Keramahan yang dimilikinya tidak jauh beda dengan gurunya, Imam Bukhari. Dengan reputasi ini Imam Muslim oleh Adz-Dzahabi disebutan sebagai Muhsin min Naisabur (orang baik dari Naisabur).

Maslamah bin Qasim menegaskan, "Muslim adalah tsiqqat, agung derajatnya dan merupakan salah seorang pemuka (Imam)." Senada dengan Maslamah bin Qasim, Imam An-Nawawi juga memberi sanjungan: "Para ulama sepakat atas kebesarannya, keimanan, ketinggian martabat, kecerdasan dan kepeloporannya dalam dunia hadits."

Seperti halnya Imam Buhari dengan Al-Jami' ash-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari, Imam Muslim juga memiliki kitab munumental, kitab Shahih Muslim. Dibanding kitab-kitab hadits shahih karya Imam Muslim lainnya, Shahih Muslim yang memuat 3.033 hadits memiliki karakteristik tersendiri. Imam Muslim banyak memberikan perhatian pada penjabaran hadits secara resmi. Imam Muslim bahkan tidak mencantumkan judul-judul pada setiap akhir dari sebuah pokok bahasan.

Sebenarnya kitab Shahih Muslim dipublikasikan untuk Abu Zur’ah, salah seorang kritikus hadits terbesar, yang biasanya memberikan sejumlah catatan mengenai cacatnya hadits. Lantas, Imam Muslim kemudian mengoreksi cacat tersebut dengan membuangnya tanpa argumentasi. Karena Imam Muslim tidak pernah mau membukukan hadits-hadits yang hanya berdasarkan kriteria pribadi semata, dan hanya meriwayatkan hadits yang diterima oleh kalangan ulama. Sehingga hadits-hadits Muslim terasa sangat populis.

Sebenarnya para ulama berbeda pendapat mana yang lebih unggul antara Shahih Muslim dengan Shahih Bukhari. Jumhur Muhadditsun berpendapat, Shahihul Bukhari lebih unggul, sedangkan sejumlah ulama Marokko dan yang lain lebih mengunggulkan Shahih Muslim. Perbedaan ini terjadi bila dilihat dari sisi pada sistematika penulisannya serta perbandingan antara tema dan isinya.

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengulas kelebihan Shahih Bukhari atas Shahih Muslim, antara lain, karena Al-Bukhari mensyaratkan kepastian bertemunya dua perawi yang secara struktural sebagai guru dan murid dalam hadits Mu’an’an agar dapat dipastikan sanadnya bersambung. Sementara Imam Muslim menganggap cukup dengan "kemungkinan" bertemunya kedua rawi dengan tidak adanya tadlis.

Al-Bukhari mentakhrij hadits yang diterima para perawi tsiqqat derajat utama dari segi hafalan dan keteguhannya. Walaupun juga mengeluarkan hadits dari rawi derajat berikutnya dengan sangat selektif. Sementara Muslim, lebih banyak pada rawi derajat kedua dibanding Bukhari. Selain itu, kritik yang ditujukan kepada perawi jalur Muslim lebih banyak dibanding al-Bukhari.

Sementara pendapat yang berpihak pada keunggulan Shahih Muslim beralasan, seperti yang dijelaskan Ibnu Hajar, Muslim lebih berhati-hati dalam menyusun kata-kata dan redaksinya. Muslim juga tidak membuat kesimpulan dengan memberi judul bab seperti yang dilakukan Bukhari lakukan. Imam Muslim wafat pada Ahad sore, pada tanggal 24 Rajab 261 H dengan mewariskan sejumlah karyanya yang sangat berharga bagi kaum Muslim dan dunia Islam.

Karya-karya Imam Muslim
Sepanjang hidup Imam Muslim, karya-karya yang berhasil ia tulis antara lain: 1) Al-Asma’ wal-Kuna, 2) Irfadus Syamiyyin, 3) Al-Arqaam, 4) Al-Intifa bi Juludis Siba’, 5) Auhamul Muhadditsin, 7)At-Tarikh, 8) At-Tamyiz, 9) Al-Jami’, 10) Hadits Amr bin Syu’aib, 11) Rijalul ‘Urwah, 12)Sawalatuh Ahmad bin Hanbal, 13) Thabaqat, 14) Al-I’lal, 15) Al-Mukhadhramin, 16) Al-Musnad al-Kabir, 17) Masyayikh ats-Tsawri, 18) Masyayikh Syu’bah, 19) Masyayikh Malik, 20) Al-Wuhdan, 21) As-Shahih al-Masnad.
Readmore »»

Cobaan Itu Bernama Kehilangan

Setiap orang di dunia ini pasti pernah merasa kehilangan. Mulai dari kehilangan barang-barang kecilnya, barang-barang mahalnya, sampai kehilangan orang-orang yang paling ia cintai. Bahkan tidak bisa disangkal, kehilangan adalah salah satu bentuk cobaan yang paling berat. Kita semua pasti tidak asing dengan firman Allah,”Dan sungguh Kami pasti akan menguji kalian dengan rasa takut, rasa lapar, dan kehilangan harta benda, jiwa serta buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka berkata,’Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya pulalah kami akan kembali”.



Apakah kita memiliki sesuatu di dunia ini? Tidak. Semua yang kita miliki sejatinya adalah milik Allah. Kekayaan, anak, orangtua, suami, istri dan apapun yang kita akui sebagai milik kita pada dasarnya adalah kepunyaan Allah. Bukankah kita dulu terlahir di dunia ini tanpa membawa apa-apa, meskipun hanya sehelai benang? Allah sengaja menitipkan banyak hal dalam genggaman kita, untuk menguji kita atas titipan-titipan tersebut.

Memang, yang namanya kehilangan itu terasa berat, menyedihkan dan bahkan menyayat hati. Akan tetapi, dengan itu barangkali Allah hendak memuliakan seorang hamba. Seorang mukmin harus yakin bahwa apapun yang Allah kehendaki atas dirinya adalah yang terbaik baginya. Tentu saja dalam pandangan Allah, Dzat Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.

Seringkali seseorang yang kehilangan bergumam dalam hatinya,”Mengapa Allah menghendaki hal ini atas diriku?” “Mengapa Allah melakukan hal ini atas diriku?” “Mengapa Allah mengambilnya dariku?” Pertanyaan-pertanyaan seperti itu biasanya secara spontan mengemuka dalam hati seseorang yang baru saja kehilangan. Sesuatu yang barangkali manusiawi. Ya, sangat manusiawi. Namun, seorang mukmin jangan pernah berburuk sangka kepada Allah. Ia harus sadar dan memahami bahwa Allah pasti menghendaki yang terbaik bagi semuanya.

Kita harus bisa bersikap ridha ketika Allah mencabut sesuatu dari dekapan kita. Ridha dengan apapun yang Allah kehendaki merupakan maqam yang sangat tinggi dalam perjalanan seseorang untuk mendekat kepada Tuhannya. Betapa tidak! Alangkah mulianya seorang hamba yang senantiasa ridha dengan segala yang Allah berikan kepadanya. Dengan segala yang Allah kehendaki atas dirinya.

Terakhir, kita mesti ingat bahwa syetan adalah musuh abadi manusia. Ia senantiasa membisiki seseorang ketika habis kehilangan,”Seandainya kamu tidak kehilangan”. Demikianlah syetan terus menghembus-hembuskan kata-kata “seandainya” dan “andai saja”. Ia mencoba mengajak manusia untuk menentang dan tidak menerima kehendak Allah. Ia suka jika ada seorang manusia yang berburuk sangka kepada tuhannya, atau bahkan mengolok-olok tuhannya. Semoga Allah menggolongkan kita kedalam hamba-hamba-Nya yang tabah dan sabar, dan dengan itu Allah berkenan mengangkat derajat kita di sisi-Nya. Amin.
Readmore »»
powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme